Nanang

Nanang atau Anang adalah suatu gelar bangsawan di Kerajaan Negara Daha (masa Pengislaman) dan Kesultanan Banjar. Gelar ini diberikan untuk keturunan Andin perempuan. Wanita bangsawan yang menikahi rakyat jelata statusnya keturunannya menjadi golongan Setengah bangsawan (bekas bangsawan sehingga perlu diberi pangkat setengah bangsawan). Gelar ini juga diberikan untuk keturunan para Adipati penguasa Amuntai yang dianggap sama levelnya dengan gelar ini. Tetapi gelar ini levelnya di bawah daripada gelar Andin (gelar untuk keturunan Kerajaan Negara Daha yang berpindah ke wilayah Batang Alai dan Danau Salak).[1]

Menurut Amir Hasan Kiai Bondan dalam buku Suluh Sedjarah Kalimantan menyatakan bahwa ada tiga macam pendapat para pengarang silsilah tentang asal-usul Nanang (Anang-Anangan):[2]

  1. Nanang merupakan turunan Gusti yang menjadi prajurit pilihan (pahlawan) dalam Kerajaan Banjar. Nama turunan Gusti diganti dengan Nanang. Kedudukan para Nanang di Majelis upacara-upacara resmi sejajar dengan kaum bangsawan (Pangeran dan Gusti-Gustian)
  2. Turunan Depati (Adipati) terutama di Amuntai disebut orang: Anang-Anangan (Nanang)
  3. Seorang wanita turunan Andin kawin dengan rakyat jelata, maka anak mereka itu disebut orang Anang (Nanang).

Nanang merupakan gelaran turun-temurun untuk anak lelaki Adipati dari Banua Lima dan anak cucu orang sepuluh Amuntai. Semula gelar ini diperuntukan untuk kerabat Ampu Jatmaka, pendiri Negara Dipa (Amuntai) dan tidak boleh untuk kerabat dari isterinya. Sedangkan gelar Kiai merupakan gelar untuk kepala distrik yang baru diangkat, keturunan kepala distrik belum berhak menyandang gelar Anang kecuali setelah turun termurun beberapa generasi memegang jabatan Kiai.

Asal usul Kadang-Haji (kerabat raja Ampu Jatmaka) dan Nanang

Asal usul Kadang-Haji (kadang= keluarga; haji= raja) dan Nanang bukan dari keturunan lurus Ampu Jatmaka tetapi dari kerabatnya (Jaba) yakni keturunan orang dua puluh. Pada masa pemerintahan Islam, Raja Banjar Sultan Mustain Billah memberikan gelar ini kepada adik iparnya seorang Panglima Dayak Biaju bernama Sorang yang kini diberi nama Nanang Sarang, setelah menikahi Gusti Nurasat.

Hikayat Banjar menyebutkan:

Dan raja itu menjadikan orang malalangkah, artinya itu kaum pamayungan. Ia itu keluarganya Ampu Jatmaka. Orang dua puluh itu bernama Kadang-haji, karena itu bukan keluarga isteri Ampu Jatmaka; yang dua puluh orang itu keluarga Ampu Jatmaka; ia itu bernama Kadang-haji karena keluarga raja laki-laki. Itulah bernama orang malalangkah, yang harus mengambil banyu adus akan raja akan berdudus; itu yang harus mengenakan papajangan balai petani di atas padudusan itu, harus berdiri barang dijangkaunya disanding raja itu, raja tiada kepapasan asal usulnya. Anak cucunya, anak beranak, cucu bercucu itu, turun temurun daripada orang yang dua puluh itu, lamun laki-laki, ia itu asal kaum malalangkah itu, asal Kadang-haji namanya; ia itu akan pamayungan. Orang yang dua puluh itulah bernama para Nanang itu karena artinya Nanang itu asal keluarganya Orang Besar, lebih daripada nama Kiai - itu tatuha kaumnya, baharu dibesarkan namanya - Nanang itu asalnya Orang Besar. Itulah makanya terlebih nama Nanang itu daripada nama Kiai.

Dan menjadikan juru gaduh gadung dan jorong. Ia itu keluarga raja perempuan, keluarga isteri Ampu Jatmaka. Nama menterinya Wargasari, kaumnya tiga puluh.[1]

Orang yang bergelar Nanang

  • Nanang Sanusi
  • Nanang Sarang, tokoh etnis Biaju (Dayak Ngaju) yang nama aslinya Sorang ketika menikah dengan seorang Gusti perempuan (Gusti Nurasat, adik Sultan Musta'in Billah) sehingga ia dianugerahi gelar Nanang oleh Raja Banjar Sultan Musta'in Billah, setelah ia "membayar purih" (denda adat karena menikahi anak raja).[1]

Orang yang bernama atau bergelar Anang (karena keturunan)

  • Djazouly Seman (Abah Anang)
  • Anang Hermansyah
  • Anang Ardiansyah
  • Anang Hasyim
  • Anang Syakhfiani
  • Anang Muhammad Fadli

Catatan kaki

  1. ^ a b c Ras (1990). Johannes Jacobus Ras, ed. Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh (dalam bahasa Melayu). Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405.  Parameter |fisrt= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) ISBN 983-62-1240-X
  2. ^ Kiai Bondan, Amir Hasan (1953). Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar. 


  • l
  • b
  • s